Bunga Rampai Aceh

Selamat Datang Di "Bunga Rampai Aceh" Http://ChaerolRiezal.Blogspot.Com

24 Mei 2012

Melacak Peran Perempuan Aceh


Bulan April kita kenang sebagai bulan kaum perempuan . Di bulan inilah pada
tahun 1879 pejuang emansipasi wanita, RA Kartini, lahir di Jepara. Kecuali
Jepara, agaknya Aceh juga perlu diberi catatan dalam hal emansipasi ini,
terutama soal kesetaraan jender. Di Aceh tidak ada dikotomi fungsional
secara ekstrem antara lelaki dengan perempuan kecuali dalam ritual ibadah
dan fiqh agama.

Sejak Kerajaan Samudra Pasai (abad ke 15) peran wanita sudah sangat
menonjol. Nahrasiah adalah ratu pertama di Aceh yang memimpin Kerajaan
Samudra Pasai atas konsep kesetaraan jender, jauh sebelum Kartini
(1879-1904) di Jawa memperjuangkan hak-hak kaumnya. Nahrasiah naik ke tampuk
pemerintahan pada tahun 1408 dan meninggal pada pada 1428 menggantikan
ayahnya Sultan Zainal Abidin. Ia mendapatkan kekuasaan itu secara terhormat
karena seluruh masyarakat -dalam hal ini kerabat kerajaan-- sepakat untuk
menyerahkan kekuasaan negara kepada seorang wanita, tanpa mempersoalkan
adanya analogi bahwa wanita yang tidak bisa jadi imam shalat sekaligus tidak
bisa memimpin negara. Di bawah kepemimpinan Putri Nahrasiah inilah kemudian
tradisi pemerintahan perempuan berlanjut di Aceh.

Menjelang masa keemasannya, di Kerajaan Aceh tampil seorang perempuan dengan
peran sangat penting, yaitu Keumalahayati, yang diangkat menjadi laksamana
oleh Sultan Alaiddin Riayatsyah (1589 -1604). Sebuah riwayat menyebutkan,
alasan pengangkatan Keumalahayati sebagai laksamana, karena selain layak dan
berpengalaman di laut, kala itu Riayatsyah sudah tidak mempercayai lagi kaum
lelaki. Di usianya yang tua (80 tahun), sultan amat risau jika panglima
armada dipimpin lelaki karena berpotensi merampas kekuasaan. Hanya wanita
yang mampu mengamankan dan menyamankan sultan dari bayang-bayang kudeta.

Riayatsyah adalah tokoh pembagi kekuasaan antara lelaki dengan wanita.
Sebab, selain untuk jabatan laksamana, sultan juga mengangkat Po Cut Limpah
menjadi Ketua Dewan Rahasia. Tugas Dewan Rahasia -yang mirip dewan penasihat
sekaligus badan intelijen negara-- memberi informasi penting kepada sultan.
Keputusan-keputusan strategis kerajaan bermula dari dewan yang dipimpin Po
Cut Limpah ini. Mitos bahwa pada wanita tak boleh disimpan rahasia, dengan
sendirinya terbantahkan.

Sebetulnya teramat panjang daftar perempuan Aceh yang berperan di berbagai
sektor, sebagai pertanda bahwa tidak ada persoalan jender dalam budaya Aceh.
Tampilnya Safiatuddin - putri Iskandarmuda-- memimpin Aceh setelah mangkat
Iskandar Thani (suaminya), semakin mempertegas kedudukan dan integritas
perempuan - apalagi ketika Riayatsyah -seperti dikatakan
tadi--berkesimpulan: bahwa lelaki tidak bisa dipercaya, sehingga dia memilih
Keumalahayati sebagai laksamana.

Safiatuddin yang memerintah dari tahun 1614 sampai 1675, dilukiskan sebagai
ratu yang cerdas, malah lebih cerdas dari para pendahulunya -termasuk dari
kalangan pria. Di zaman Safiatuddin berkembang ilmu pengetahuan yang
ditandai oleh terbitnya buku-buku penting karya para ulama, setelah mereka
dikirim ke India dan Timur Tengah. Nuruddin Ar Raniry yang terkenal itu
berkarya di masa sang ratu. Yang lebih penting, masa kekuasaan wanita ini
jauh lebih lama dibandingkan dengan para sultan sebelum dan sesudahnya.
Dengan masa berkuasa selama 34 tahun, bahkan Safiatuddin melebihi Soeharto.

Bertahannya di tampuk pemerintahan, antara lain karena dia tahu menjaga
keseimbangan semua komponen masyarakat, terutama para elitnya. Dia
melibatkan ulama menjadi penasihat istana, yang tradisi ini sampai kini
masih berlangsung di Aceh. Sekarang ini, Pemerintahan Aceh memasukkan
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai anggota Muspida, yang tidak ada
di provinsi, atau kabupaten/kota di luar Aceh. Inilah konsep gagasan seorang
wanita yang berawal dari adanya ketulusan menempatkan wanita di pusat-pusat
kekuasaan.

Dalam masa sekarang ini, wanita Aceh juga selalu mendapat tempat yang layak
di masyarakat bersama lelaki, baik dalam strata kehidupan maupun dalam
tatacara bekerja. Karena sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai
petani, maka apa yang terjadi dalam kegiatan bercocok tanam di sawah dapat
menjadi cermin dari kesetaraan jender. Ureueng agam mu-ue umong, ureueng
inong jak seumula. (Orang lelaki membajak sawah, kaum perempuan yang menanam
padi).

Benda purbakala seperti Gunongan dan Pinto Khop di sisi Krueng Daroy Banda
Aceh juga bisa memberi kesaksian tentang posisi wanita. Kedua benda sejarah
itu dibangun Iskandarmuda atas permintaan istrinya Putroe Phang. Sebagai
first lady Aceh, sang permaisuri menginginkan sarana rekreasi dan tempat
bersenang-senang agar betah tinggal di Aceh sehingga tidak lagi rindu
kampung halamannya di Pahang, Semenanjung Melayu.

Pada penyapaan resmi juga dapat dilihat bagimana wanita mendapatkan tempat
atau prioritas, seperti halnya dalam masyarakat Barat yang giat
memperjuangkan hak-hak wanita. Dalam bahasa Indonesia, bila seorang
berbicara secara resmi atau pidato, sapaannya berbunyi; Bapak-bapak dan
ibu-ibu! Atau Saudara saudari, -- lebih dulu lelaki yang mendapat sapaan,
baru wanita. Tetapi untuk maksud yang sama akan kita temukan kalimat sapaan
yang sebaliknya dalam masyarakat Aceh: Kawom mak nyang meutuah, kawom ayah
yang meubahgia (Kamum ibu yang bertuah, kaum bapak yang berbahagia). Sama
dengan sapaan masyarakat Barat: Ladies and gentlemen!

Bagi kalangan yang kurang mengerti, sering bertanya bahkan
memperolok-olokkan kebiasaan yang dilihat secara sepintas. Misalnya di
kampung-kampung, jika berjalan kaki, selalu saja suami di depan dan istri di
belakang, lalu mereka mengatakan bahwa lelaki Aceh meremehkan perempuan
sehingga tega ditinggalkan di belakang. Padahal itu dilakukan karena
semangat melindungi perempuan, yaitu sikap satria yang seharusnya dimiliki
oleh lelaki agar wanita terlindungi, sehingga dia bisa terus bersama-sama
menjalani hidup ini.

Jalan berbanjar bukan beriring ini bermula ketika situasi alam masa dulu
yang penuh tantangan. Karena berbagai ancaman dijumpai sepanjang perjalanan
yang masih sepi dan penuh binatang buas atau onak duri yang berbahaya. Tugas
lelakilah menghadapi semua itu dengan cara berjalan di depan. Kecuali itu,
pada waktu tersebut tentu perjalanan jarak jauh pun ditempuh lewat jalan
setapak atau pematang sawah, yang tak mungkin berjalan secara bergandengan.

Dengan gambaran yang teramat jelas bagaimana struktur dan pembagian fungsi
serta simbol-simbol kulturalis, sebetulnya tidak banyak manfaat bagi
kalangan yang datang ke Aceh menceritakan kesetaraan jender. Tanyakan kepada
wanita Aceh, adakah mereka merasa dipinggirkan atau dimarjinalkan oleh
lelaki. Dengan latar keislamannya, masyarakat Aceh sangat mahfum apa yang
telah dilakukan, apa yang harus dilakukan, dan apa yang musti mereka
tinggalkan. Mereka amat sadar akan martabat dirinya dan martabat
keluarganya.

Tugas-tugas berat yang dipikul oleh perempuan Aceh tidak membebankan mereka
secara fisik dan psikis. Jangankan harus turun ke sawah bersama lelaki,
beban yang lebih berat pun telah dijalani dan dilakoni wanita Aceh. Mereka
pernah memegang kekuasaan, mulai Ratu Nahrasiah di Kerajaan Samudra Pasai
awal abad ke 15, sampai dengan Safiatuddin (1641 - 1678), serta para ratu
berikutnya: Nurul Alam (1675 - 1678), Inayat Zakiatuddin ( 1678 - 1688), dan
Kumalat Zainatuddin (1688 - 1699) di Kerajaan Aceh. Kecuali di singgahsana,
wanita Aceh juga ikut dalam peperangan, dari satu masa ke masa lainnya.

Dalam arsitektur rumah tradisional Aceh juga dapat kita lihat bagaimana
wanita (ureueng inong) mendapat tempat. Di antara ruang-ruang rumah
tersebut, yang namanya rumoh inong terletak di tengah-tengah dan lantainya
lebih tinggi dari bagian lain seperti seuramoe (serambi) dan seulasa atau
selasar. (Ada menerjemahkan rumoh inong sebagai rumah induk). Posisinya di
tengah-tengah bermakna wanita harus dilindungi, karena secara kodrati dia
makhluk yang lemah.

Struktur yang lebih tinggi menggambarkan penghargaan lebih yang diberikan
kepada perempuan.

Tanpa ingin menonjol salah satunya, yang perlu dicatat bahwa ketika Kartini
baru memperjuangkan hak-hak wanita pada akhir abad 19, lima abad (500 tahun)
sebelum itu wanita Aceh telah mendapatkannya. Atau mungkin, Kartini adalah
tokoh perempuan dalam sejarah modern Indonesia.