Bunga Rampai Aceh

Selamat Datang Di "Bunga Rampai Aceh" Http://ChaerolRiezal.Blogspot.Com

13 September 2012

Islam Di Masa Silam



Arab. Letaknya yang dekat persimpangan ketiga benua, semenanjung Arab menjadi dunia yang paling mudah dikenal di alam ini. Dibatasi oleh Laut Merah ke sebelah barat, Teluk Persia ke sebelah Timur, Lautan India ke sebelah selatan, Suriah dan Mesopotamia ke utara, dahulu merupakan tanah yang gersang tumbuh-tumbuhan di Pegunungan Sarawat yang melintasi garis pantai sebelah barat. Meski tidak banyak perairan, beberapa sumbernya terdapat di bawah tanah yang membuat ketenangan dan sejak dulu berfungsi sebagai urat nadi permukiman manusia dan kafilah-kafilah.

Semenanjung Arabia dihuni sejak hari-hari pertama dalam catatan sejarah. Sebenarnya penduduk teluk Persia telah membangun negara perkotaan, city-state, sebelum abad ketiga S.M. Para ilmuwan menganggap wilayah tersebut sebagai tempat kelahiran suku bangsa Semit, meski sebenarnya tak ada kata mufakat di antara mereka. Istilah Semit mencakup: Babilonia (pendapat Von Kremer, Guide, dan Hommel); semenanjung Arabia (Sprenger, Sayce, De Goeje, Brockelmann, dan lain-lain); Afrika (Noldeke dan lain-lain); Amuru (A.T. Clay); Armenia (John Peaters); bagian sebelah selatan semenanjung of Arabia (John Philby); dan Eropa (Ungnand).

Phillip Hitti, dalam karyanya yang berjudul, Sejarah Bangsa Arab, menyebut,

“Kendati istilah semi tmuncul belakangan di kalangan masyarakat Eropa, hal tersebut biasanya dialamatkan pada orang-orang Yahudi karena yang terkonsentrasi di Amerika. Sebenarnya lebih tepat ditujukan pada penduduk bangsa Arab yang, lebih dari kelompok manusia lain, telah mendapat ciri bangsa Semit secara fisik, kehidupan, adat istiadat, cara berpikir dan bahasa. Orang-orang Arab masih tetap sama sepanjang pen­catatan sejarah.”

Hampir semua hipotesis asal-usul kesukuan lahir dari kajian di bidang bahasa mengambil sumber informasi dari Kitab Perjanjian Lama, yang kebanyakan tidak bersifat ilmiah serta didukung oleh bukti sejarah yang akurat. Misalnya, Kitab Perjanjian Lama memasukkan bangsa lain yang pada hakikat­nya bukan bangsa Semit seperti Alamite dan Ludim, di waktu yang sama tidak mengikutsertakan beberapa bangsa Semit lain seperti Funisia dan Kanaan. Melihat pendapat yang beragam, saya lebih cenderung menerima bahwa kaum Semit muncul dari kalangan bangsa Arab. Menjawab pertanyaan siapa sebenarnya bangsa Semit dan siapa yang bukan, Bangsa Arab dan Israel memiliki keturunan asal usul serumpun melalui Nabi Ibrahim.


Nabi Ibrahim dan Kota Mekah

Dalam waktu yang ditetapkan dalam sejarah, Allah memberi karunia kepada Nabi Ibrahim seorang putra, Isma'il, pada usia lanjut. Ibunya, Siti Hajar, seorang hamba yang dihadiahkan Pharos kepada Sarah. Kelahiran Isma'il membuat Sarah cemburu luar biasa di mana ia meminta agar Ibrahim memutus hubungan persaudaraan wanita tersebut dengan putranya. Melihat adanya perselisihan dalam keluarga, ia membawa Siti Hajar dan Isma'il ke tanah Mekah yang tandus, lembah yang amat panas dan tak berpenduduk, serta ke­kurangan makanan dan minuman. Saat mulai tinggal, Siti Hajar melempar pan­dangan pada tanah kosong yang ada di sekelilingnya dengan perasaan tak menentu disertai pertanyaan kepada Ibrahim apakah ia telah meninggalkan mereka. la tak menjawab. Lalu ia bertanya adakah ini perintah Allah? Ibrahim lalu mengiyakan. Mendengar jawaban itu ia berkata, "Jika demikian halnya, Tuhan tak akan membuat kita sia-sia." Pada akhirnya, air Zamzam menyembur dari dalam tanah gersang membasahi kaki si kecil, Isma'il. Mata air itulah yang membuat tempat itu sebagai permukiman yang dihuni pertama kali oleh kabilah Jurhum.

Beberapa tahun kemudian Nabi Ibrahim, saat mengunjungi putranya, memberi tahu tentang sebuah pandangan pemikiran:

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama­sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka Pikirkanlah apa pendapatmu!' Ia menjawab, 'Hai bapakku, kerjakanlah apa yang dipertanyakan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang­orang yang sabar.' Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran kedua­nya). Dan saya panggilah dia, 'Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu,' sesungguhnya demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar­benar sesuatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”

Nabi Ibrahim dan Isma'il menerima perintah ketuhanan guna membangun tempat suci pertama di muka bumi sebagai tempat menyembah Allah,

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”

Bakkah sebuah ungkapan kata lain dari kota Mekah, dari atas batu itulah ayah dan putranya memusatkan perhatian pada pembangunan Ka'bah yang suci dengan sikap ketakwaan seorang yang telah menghadapi cobaan yang sangat berat dan mampu menghadapinya karena `inayah Allah. Setelah menyelesaikan bangunan itu, Nabi Ibrahim lalu berdoa,

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”

Tidak lama kemudian doa yang disemburkan mulai membuahkan hasil dan Mekah tidak lagi terpencil; kehidupan semakin berkembang dengan adanya tempat suci Allah, air zamzam, dan penduduknya mulai menuai kesuburan. Kemudian menjadi pusat lintas perdagangan ke Suriah, Yaman, Ta'if, dan Najd, dan penyebab utama di mana dari masa ke masa, para kaisar dari Aellius Gallus hingga Nero ingin menyebarkan pengaruh di persinggahan penting kota Mekah dengan mencurahkan segala upaya guna mencapai tujuan tersebut.

Tampaknya terdapat pula gerakan kependudukan lain di semenanjung Arab. Perlu dicatat, di sana terdapat para pengungsi bangsa Yahudi, beberapa abad kemudian, memperkenalkan agamanya pada masa pengasingan orang­orang Babilonia. Mereka kemudian menetap di Yathrib (Madinah sekarang), Khaebar, Taima', dan Fadak pada tahun 587 sebelum masehi dan tahun 70 Masehi. Suku bangsa Nomad terus mengalami perubahan. Suku bangsa Tha 'liba dari keturunan Qahtan juga tinggal di Madinah. Di antara anak cucu keturunan mereka adalah kabilah Aws dan Khazraj, yang kemudian ke duanya lebih dikenal sebagai kaum al-Ansar' (pendukung utama Nabi Muhammad). banu Harithah, yang kemudian dikenal sebagai banu Khuza'a, tinggal di Hejaz menggantikan penduduk sebelumnya, banu Jurhum, yang kemudian menjadi pemelihara Baitullah atau Ka'bah di Mekah. Merekalah yang harus memikul tanggung jawab karena melahirkan sistem keberhalaan. Bani Lakham, kabilah lain dari Qahtan, menetap di Hira (Kufa, sekarang Irak) di mana mereka mendirikan sebuah negara kecil sebagai penahan antara Jazirah Arabia dan Persia (200-602 masehi). Bani Ghassan menetap di Suriah sebelah bawah dan mendirikan kerajaan Ghassan, sebuah negeri penahan antara Byzantin dan Arab, yang berakhir hingga tahun 614 masehi. Bani Tay menduduki daerah pegunungan Tayy sedang ban! Kinda menetap di pusat Arab. Gambaran secara umum dari semua kabilah tersebut merupakan jalur keturunan Nabi Ibrahim melalui Nabi Isma'il.

Bab ini tidak dimaksudkan hendak memberi gambaran tentang kota Mekah sebelum Islam, sekadar pendahuluan akan adanya hubungan nenek moyang anggota keluarga Nabi Muhammad. Untuk mempersingkat, saya akan mengungkap dan melacak kelahiran Qusayy, para kakek Nabi Muhammad.


Qusayy Sebagai Penguasa Kota Mekah

 
Ratusan tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad Qusayy. dikenal sebagai orang yang amat cerdas, perkasa serta memiliki kemampuan administrasi yang tinggi dan mencuat dalam jajaran pentas politik kota Mekah. Mengambil faedah dari kepentingan Byzantin di Mekah waktu itu, la minta pertolongan mereka dalam menguasai kota Mekah dengan mengesampingkan pengaruh Byzantin dengan tidak menghiraukan kepentingan wilayah mereka.

Qusayy menikahi Hubba bint Hulail, putri kepala Suku Khuza'i di Mekah; kematiannya memberi peluang menaiki tahta kekuasaan dan menye­rahkan pemeliharaan kota Mekah pada anak cucu keturunannya. Kabilah Quraish terpencar ke seluruh wilayah yang pada akhirnya semua memasuki kota Mekah dan menyatu di bawah komando kepemimpinannya.


Mekah: Sebuah Masyarakat Kabilah

Meski disebut sebagai kota negara, city-state, Mekah tetap merupakan masyarakat kesukuan hingga akhir penaklukannya pada masa Nabi Muhammad. Sistem kependudukan masyarakat dibangun menurut kabilah dimana anak-anak dari satu suku dianggap saudara yang memiliki pertalian hubungan darah. Seorang Arab tidak akan dapat memahami pemikiran negara kebangsaan melainkan dalam konteks sistem kesukuan (kabilah),

“Adalah hubungan negara kebangsaan yang mengikat keluarga ke dalam kesukuan,sebuah negara yang didasarkan pada hubungan darah daging seperti halnya negara kebangsaan yang dibangun di atas garis keturunan. Adalah hubungan kekeluargaan yang mengikat semua individu ke dalam negara dan kesatuan. Hal ini dianggap sebagai agama kebangsaan dan hukum perundangan-undangan yang telah mereka sepakati.”

Setiap anggota merupakan asset seluruh kabilah di mana munculnya se­orang penyair kenamaan misalnya, ahli perang pemberani, orang terkenal dalam kebaikan dalam satu kabilah, akan membuat kehormatan dan nama baik seluruh garis keturunannya. Di antara tugas utama tiap pendukung kesukuan adalah mempertahankan bukan saja terhadap anggotanya melainkan setiap mereka yang secara sementara seperti tamu-tamu yang hadir di bawah bendera kabilah. Memberi proteksi pada mereka merupakan suatu kehormatan yang dicapai. Oleh karena itu, kota Mekah sebagai kota kenegaraan selalu siap menyambut setiap pendatang menghadiri perayaan, melakukan ibadah haji, atau pun sekadar lewat dengan rombongan berunta. Memberi pelayanan permintaan ini memerlukan keamanan dan fasilitas yang memadai, dan, oleh karena itu institusi kemudian dibangun di kota Mekah (di mana beberapa di antaranya oleh Qusayy sendiri): seperti Nadwa (lembaga perkotaan), Mashura (dewan nasihat), Qiyada (kepemimpinan), Sadana (adminstrasi kota suci), Hijaba (pemeliharaan Ka'bah), Siqaya (pengadaan air minum buat para jemaah haji), Imaratul-bait (pemeliharaan kesucian Ka'bah), Ifa`da (mereka yang berhak memberi izin pada orang pertama yang melangkah dalam acara perayaan), Ijaza, Nasi (institutsi penyesuaian kelender), Qubba (membuat tenda mengumpulkan sumbangan bagi mengatasi keadaan darurat, A'inna (pemegang kendali kuda), Rafada (pajak untuk membantu para jemaah haji yang miskin), Amwal muhajjara (sedekah untuk kesucian), Aysar, Ashnaq (pembuat perkiraan pertanggungan jawab keuangan) Hukuma (pemerintahan), Sifarah (kedutaan), `Uqab (penentuan standar), Liwa (panji) dan Hulwan-un­nafr (mobilisasi kesejahteraan).

Tugas berat ini menjadi tanggung jawab anak cucu keturunan Qusayy. Keturunan 'Abdul-Dar misalnya mengambil alih tugas pemeliharaan Ka'bah, balai kelembagaan, dan hak-hak mengangkat panji pada semua staf pada saat peperangan. 'Abd-Manaf mengatur hubungan luar negeri dengan penguasa Romawi, dan pangeran Ghassan. Hashim (putra lelaki 'Abd-Manaf) mengadakan perjanjian dan dikatakan telah menerima perintah dari kaisar memberi kekuasaan pada orang Quraish untuk melakukan perjalanan melalui Suriah dalam keadaan aman.” Hashim dan kelompoknya tetap mempertahankan tugasnya sebagai kepala pengaturan makanan dan minuman untuk para jamaah haji. Kekayaannya telah memberi peluang melayani para jamaah haji dengan kebesaran seorang pangeran.

Sewaktu melakukan misi perdagangan ke Madinah, Hashim terpikat oleh seorang wanita bangsawan suku Khazarite, Salma bint 'Amr. la menikah dan kembali bersamanya ke Mekah, namun saat dalam keadaan hamil ia memilih kembali ke Madinah dan melahirkan seorang putra, bernama Shaiba di sana. Hashim meninggal di Gaza pada saat melakukan misi perdagangan, dan memberi kepercayaan pada saudaranya, Muttalib, guna memelihara putranya yang saat itu, masih bersama sang ibu. Saat melakukan perjalanan ke Madinah, Muttalib berselisih paham dengan janda Hashim tentang penjagaan pemuda Shaiba, yang pada akhirnya ia berada pada pihak yang menang. Dengan kembali bersama paman dan keponakannya ke Mekah, orang salah pengertian dan mengira anak lelaki itu sebagai hamba Muttalib. Oleh sebab itu, nama julukan Shaiba menjadi 'Abdul-Muttalib.

Setelah meninggal pamannya, 'Abdul-Muttalib, mewarisi tugas Siqaya (pengadaan air minum buat para jamaah haji) dan Rafada (pengumpul bantuan keuangan untuk para jamaah haji miskin). Setelah menemukan kembali sumur zamzam yang mata airnya terbenam dan sudah terlupakan di bawah himpunan pasir beberapa tahun lamanya, ia memperoleh kehormatan dan ketinggian menjadi gubernur kota Mekah. Beberapa tahun sebelumnya ia pernah nazar bahwa jika ia diberi sepuluh orang putra, ia akan mengorbankan satu di antara mereka demi sebuah patung berhala. Sekarang, setelah diberi


Masa Qusayy Hingga Muhammad

Keberkahan dengan sejumlah putra seperti dikehendaki, 'Abdul-Mutallib berupaya memenuhi janjinya dengan meminta pendapat Azlam agar memilih siapa di antara mereka yang hendak dikorbankan. Nama anak termuda (yang paling digemari), 'Abdullah, ternyata itu yang muncul. Pengorbanan ke­munisaan dianggap suatu yang tidak disenangi di kalangan orang Quraish, maka ia mengontak juru sihir yang, menurut ramalan, 'Abdullah akan ditukar dengan seekor unta. Azlam kembali dihubungi, dan nilai nyawa anak muda itu ditaksir dengan harga seratus unta.

Karena luapan kegembiraan melihat peristiwa tersebut 'Abdul-Muttalib membawa putranya, 'Abdullah, ke Madinah untuk mengunjungi beberapa kerabatnya. Di sanalah `Abdullah mengawini Amina, sepupu perempuan Wuhaib yang merupakan tuan rumah dan memiliki asal usul keturunan kabilah (saudara laki-laki Qusayy mendirikan kabilah bani Zuhra dari suku Wuhaib). 'Abdullah menikmati kedamaian dalam keluarga beberapa lama sebelum memulai misi perdagangan ke Syria. Malangnya sepanjang perjalanan jatuh sakit. la kembali ke Madinah dan meninggal dunia di saat Amina mulai kehamilan Muhammad.

 
Kondisi Keagamaan di Jazirah Arabia

Menjelang masa kenabian Muhammad, Jazirah Arab tidak merasa akrab melihat semua bentuk reformasi keagamaan. Sejak berabad-abad penyem­bahan patung berhala tetap tak terusik, baik pada masa kehadiran permukiman kaum Yahudi maupun upaya-upaya Kristenisasi yang muncul dari Syria dan Mesir. William Muir, dalam bukunya, The Life of Mahomet, beralasan bahwa kehadiran kaum Yahudi atau keberadaan mereka membantu menetralisasi tersebarnya ajaran Injil melalui dua tahap. Pertama, dengan memperkuat diri sendiri di sebelah utara perbatasan Arab, dan untuk itu, mereka membuat penghalang, barrier, antara ekspansi Kristen ke utara dan penghuni kaum berhala di sebelah selatan. Kedua, para penyembah berhala bangsa Arab telah melakukan kompromi dengan agama Yahudi dalam memasukkan cerita legendaris guna menghabisi permintaan aneh-aneh agama Kristen. Saya tak dapat menerima teori pendapat ini sama sekali. Menurut pengakuan bangsa Arab, sebenarnya, sisa-sisa keagamaan monoteistik Nabi Ibrahim dan Isma'il yang telah diubah oleh khurafat dan kebodohan. Cerita yang biasanya dimiliki oleh kaum Yahudi dan orang Arab umumnya merupakan hasil keturunan nenek moyang bersama.

Ajaran Kristen abad ke-7 itu sendiri tenggelam dalatn perubahan dan mitos palsu dan terperangkap dalam stagnasi secara total. Dulunya Bangsa Arab yang mengikuti agama Kristen bukan disebabkan oleh sikap persuasif melainkan akibat kekejaman kekuasaan politik. Tak ada kekuatan yang dapat melumpuhkan para penyembah berhala bangsa Arab di mana kemusyrikan mencengkeram begitu kuatnya. Lima abad lamanya upaya Kristenisasi mem­buahkan hasil nihil. Perpindahan terhadap agama Kristen hanya terbatas pada ban! Harith dari Najran, bani Hanifa dari Yamama, dan beberapa bani Tayy di Tayma'. Dalam masa lima abad, sejarah tidak mencatat adanya satu insiden apa pun yang menyangkut sikap penyiksaan para misionaris Kristen. Di sini sarigat berbeda dari nasib yang dialami oleh pengikut Muhammad sejak awal pertama di Mekah di mana kristenisasi dipandang sebagai suatu hal yang menyusahkan dan mendapat sikap toleran, sebaliknya Islam dianggap sebagai suatu yang membahayakan terhadap institusi keberhalaan bangsa Arab.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar